Apa Dampaknya buat Masyarakat? (Pandangan Sosiologi & Ekonomi)
Ketika pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp 200 triliun ke sistem perbankan, ilmu ekonomi akan fokus pada dampak kuantitatif: berapa besar pertumbuhan PDB, seberapa kuat efek pengganda (multiplier effect), dan apakah kebijakan ini memicu inflasi.
Namun, ilmu sosiologi mengajak kita melihat sisi lain: siapa yang benar-benar merasakan manfaatnya? Apakah kebijakan ini adil bagi semua lapisan masyarakat? Bagaimana respons masyarakat terhadap kebijakan ini? Dan bagaimana kebijakan ini mengubah hubungan sosial, kepercayaan, atau budaya lokal?
Untuk memahami ini secara mendalam, kita akan menggunakan lensa tiga tokoh besar sosiologi: Auguste Comte, Emile Durkheim, dan Max Weber. Masing-masing memberikan cara berbeda untuk “membaca” dampak sosial dari kebijakan ekonomi.
Auguste Comte, yang dijuluki “Bapak Sosiologi”, meyakini bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah — sama seperti fisika atau biologi. Menurutnya, untuk memahami dampak sosial dari suatu kebijakan, kita harus mengumpulkan data nyata, mengukur variabel, dan menganalisis hubungan sebab-akibat secara objektif.
Comte akan meneliti: Berapa persen dana yang benar-benar tersalur ke UMKM? Di daerah mana penyaluran paling efektif? Apakah ada korelasi antara penyaluran kredit dan penurunan angka pengangguran? Ia tidak akan puas dengan klaim “sukses” tanpa bukti statistik. Tanpa data, menurut Comte, kebijakan hanyalah spekulasi.
Emile Durkheim memperkenalkan konsep “fakta sosial”: nilai, norma, kebiasaan, atau aturan yang hidup di masyarakat dan memengaruhi perilaku individu — bahkan tanpa mereka sadari. Fakta sosial bersifat eksternal (berada di luar individu) dan memaksa (coercive), seperti hukum, agama, atau sistem kepercayaan.
Di banyak daerah, masyarakat lebih percaya pada arisan, koperasi simpan pinjam, atau pinjaman antar tetangga daripada bank. Ini adalah “fakta sosial” — kepercayaan kolektif yang lebih kuat daripada institusi formal. Jika pemerintah ingin kredit produktif tersalur efektif, mereka harus memahami dan bekerja sama dengan sistem kepercayaan lokal ini — bukan memaksakan sistem bank yang asing bagi masyarakat.
Max Weber menekankan pentingnya “verstehen” — yaitu upaya untuk memahami makna subjektif yang mendorong seseorang bertindak. Baginya, angka dan statistik tidak cukup; kita harus masuk ke “dunia dalam” individu: apa motivasi, keyakinan, atau ketakutan yang mendasari keputusan mereka.
Seorang pedagang kecil mungkin menolak pinjaman bank meskipun bunganya rendah. Mengapa? Bisa jadi karena trauma masa lalu (pernah ditagih secara kasar), takut tidak bisa membayar, atau tekanan sosial (“nanti dikira sombong kalau pakai bank”). Weber mengajak kita tidak menyalahkan, tapi memahami alasan di balik penolakan itu — karena di situlah letak kunci keberhasilan kebijakan.
Mari kita bandingkan sudut pandang ekonomi dan sosiologi secara sederhana:
Kebijakan ekonomi tidak akan berhasil secara berkelanjutan jika hanya mengandalkan angka dan model matematis. Tanpa memahami struktur sosial, norma budaya, kepercayaan masyarakat, dan makna di balik tindakan individu, dana sebesar Rp 200 triliun bisa “tersendat” atau bahkan “mentah” di lapangan.
Sosiologi mengingatkan kita: di balik setiap angka statistik, ada manusia dengan cerita, emosi, kepercayaan, dan harapan. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya “benar secara ekonomi”, tapi juga “dirasakan adil dan relevan secara sosial”.
Oleh karena itu, kolaborasi antara ekonomi dan sosiologi bukan sekadar pilihan — tapi kebutuhan. Hanya dengan memadukan keduanya, kita bisa menciptakan kebijakan yang tidak hanya meningkatkan angka PDB, tapi juga memperkuat keadilan, kepercayaan, dan kesejahteraan sosial masyarakat.